Al-Quran
mengabadikan dalam banyak ayat-ayatnya sejumlah nama tokoh/pemimpin
masyarakat dari ummat-ummat terdahulu, bukan saja pemimpin-pemimpin
pahlawan perjuangan kebenaran dan keadilan seperti para nabi dan rasul,
tetapi juga diabadikan nama tokoh-tokoh pemimpin kezaliman
(ketidakbenaran dan ketidakadilan) seperti Firaun, Haman, Qorun, Namruz
dan lain sebagainya. Kita semua ummat zaman akhir ini diajak berfikir
dan mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu itu, di antaranya betapa
perilaku yang berubah dalam diri para pemimpin (dari komitmen idealisme
ke penyelewengan) berujung pada merajalelanya kezaliman dan penindasan
(ketidakbenaran dan ketidakadilan) , dan akhirnya menyeret mereka
bersama-sama dengan ummatnya ke dalam suatu perubahan total dimana
rakyat ditelan oleh krisis, yang disadari atau tidak mereka para
pemimpin telah menjadi faktor penyebabnya. Al-Qur’an kemudian
menjelaskan bahwa hal yang demikian yakni kehidupan jaya yang mereka
nikmati berubah menjadi derita— terjadi disebabkan perubahan yang mereka
lakukan atas sikap hidup dan perilakunya yang berujung pada kezaliman
dan penindasan (Dzalika bi anna Allah lam yaku mughayyiran ni‘matan
’an‘amaha ‘ala qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim, al-Anfal ayat
53).
Dengan merujuk petunjuk Al-Quran tersebut
di atas, dapat kita lihat betapa faktor peran pemuka masyarakat menjadi
penting dalam suatu perubahan yang terjadi atas sesuatu masyarakat dari
suatu kondisi positif beralih ke kondisi negatif. Oleh karena itu,
upaya penanggulangan krisis moral yang disadari menjadi pangkal
krisis-krisis lainnya yang sedang melanda bangsa dan negara kita dewasa
ini, haruslah bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Upaya
ini harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas
pemimpin-pemimpin masyarakat/pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan
masyarakat (ulama dan umara).
Mereka diharapkan mampu mengembangkan
dalam kehidupan pribadinya masing-masing, pola hidup BERSIH, SEDERHANA,
dan MENGABDI. Yang lebih penting lagi bagi ulama dan umara adalah upaya
menjadikan dirinya (kehidupan pribadinya) suatu keteladanan dan
pencerminan yang meyakinkan bahwa penerapan pola kehidupan yang Bersih,
Sederhana dan Mengabdi yang merupakan wujud nyata dari moralitas luhur
(Akhlak Mulia) itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian,
maka masyarakat akan percaya kepada pemuka atau pemimpinnya. Pola hidup
BSM (Bersih, Sederhana dan Mengabdi) itu yang perlu dimasyarakatkan
dengan kepeloporan para ulama dan umara hingga menjadi moral ekonomi,
moral politik dan moral hukum, dan terus diupayakan pengembangannnya di
sektor-sektor kehidupan lainnya sehingga pada saatnya menjadi Akhlak
Bangsa dan Moral Nasional sebagai landasan Pembangunan Nasional. Umara
(Para Pemuka Pemerintahan dan Pemuka-Pemuka lainnya) perlu berupaya
menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi pemasyarakatan dan
penyebarluasan pesan-pesan moral (yang terutama ditangani para ulama).
Juga dipandang perlu, ulama dan umara secara bersama-sama menyatakan
perang terhadap kejahatan dalam suatu kampanye antikejahatan, yang
membina terus-menerus upaya menegakkan kedaulatan moral menjadi bagian
dari kedaulatan rakyat. Insya Allah taufiq dan ma‘unah-Nya akan
senantiasa menyertai bangsa Indonesia.
Sebagai makhluk sosial budaya, menusia mengenal lembaga kepemimpinan,
termasuk ketika menjalankan ritual ibadah. Dalam bahasa Arab, pemimpin
disebut dengan istilah imam, amir, za`im, ra’is, dan qa’id, tetapi
istilah imam dipergunakan untuk menyebut kepemimpinan secara umum,
termasuk dalam ritual ibadah. Dalam menjalankan salat jamaah kaum
muslimin juga dipimpin oleh seorang imam. Laiknya kepemimpinan dalam
masyarakat, dalam salat jamaah juga dikenal kriteria-kriteria (a) siapa
yang layak menjadi imam salat, (b) apa etika seorang imam, (c) apa
kewajiban makmum, dan (d) hak-hak makmum. Secara fiqhiyyah, siapa saja
dengan syarat-syarat tertentu bisa menjadi imam salat, tetapi pada
hakekatnya, karena salat merupakan amal ibadah dimana manusia menghadap,
melapor dan berdialog dengan Tuhan Yang Maha Agung, maka hanya
orang-orang tertentu yang layak menjadi imam salat jamaah.Imam Ghazali dalam Ihya Ulum ad Din, kitab fiqh, menyebut enam kriteria persyaratan etis seorang imam. (1) Mempunyai kredibilitas moral dan senioritas keilmuan agama; Bermakmum kepada orang yang dikenal rendah kredibilitasnya akan membuat makmum tidak dapat tuma’ninah (2) Tidak boleh rangkap jabatan, sebagai muazzin dan imam sekaligus, (3) Sang imam sendiri harus terbiasa disiplin salat awal waktu setiap harinya, (4) Imam harus ikhlas menjalankan amanah Allah, (5) Sebelum bertakbir harus meyakinkan dirinya bahwa barisan makmum di belakangnya telah berbaris rapih, dan (6) Bertakbir dengan suara lantang serta membaca Al-Qur’an dengan fasih.
Salat berjamaah melambangkan sistem kepemimpinan dalam masyarakat, oleh karena itu, karena seorang imam akan menjadi panutan yang diikuti secara patuh oleh makmum di belakangnya, maka seorang imam harus mengerti aspirasi makmum di belakangnya. Seorang imam salat berjamaah tidak boleh beruku’ atau sujud berlama-lama, karena belum tentu semua makmum di belakangnya sanggup melakukannya. Ia juga tidak boleh membaca ayat Qur’an terlalu panjang sekiranya ia tahu bahwa jamaah di belakangnya sedang berpacu dengan berbagai urusan pekerjaan. Imam juga harus memberi peluang makmum menggenapi kekurangannya, yakni diam sejenak sebelum membaca ayat Qur’an, memberi kesempatan makmum yang belum sempurna membaca Fatihah. Laiknya sistem kepemimpinan, makmum harus patuh total mengikuti gerak imam yang sudah dipilih secara syah, tidak boleh pula mendahului gerakan imam, tetapi jika imam melakukan kekeliruan, makmum diberi hak untuk mengingatkan, yakni dengan mengucapkan kalimat Subhanallah. Sebagai imbangan dari keharusan makmum mematuhi imam, seorang imam secara sportif langsung harus mengundurkan diri jika di tengah-tengah salat ia terkena hadas, buang angin misalnya, karena buang angin membatalkan wudu, dan batalnya wudu membuat salatnya tidak sah.
Jabatan Imam salat sangat tinggi kedudukannya dalam agama, melebihi jabatan muazzin. Tetapi profesi imam bukan bersifat duniawi, oleh karena itu banyak orang justru merasa tidak layak menjadi imam salat jamaah. Para sahabat dulu juga tidak berebutan untuk menjadi imam, sebaliknya justru saling dorong-mendorong yang lain. Seorang imam salat yang ideal adalah imam yang bisa meneladani perilaku Rasulullah dan sahabat model Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Imam salat adalah teladan bagi makmum, karena semua gerakan imam akan diikuti oleh makmum di belakangnya. Karena itu Imam Ghazali membuat bab tentang imam dengan judul (al-bab fi al imamah wa al qudwah) Bab tentang keimaman dan keteladanan di dalam buku karya utamanya Ihya’.
0 komentar:
Posting Komentar